Efisiensi yang Pincang dan Krisis Kepercayaan Publik
Oleh: Adi Chandra Gutama
Ketua Gerakan Pemuda Nusantara (GPN) Lampung
Di tengah bayang-bayang ketidakpastian ekonomi global, pemerintah kini tengah berjibaku menghadapi tantangan berat. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi tumpuan utama untuk menahan guncangan agar tidak semakin menyengsarakan rakyat. Namun, harapan itu tidak berjalan mulus.
Alarm defisit anggaran mulai berbunyi—pertanda situasi yang patut diwaspadai. Persoalan yang kita hadapi sejatinya lebih kompleks dari sekadar angka defisit. Munculnya dugaan penyimpangan anggaran di sejumlah pemerintah daerah, termasuk di Lampung, bukanlah kasus yang berdiri sendiri. Ia menjadi gejala sistemik yang memantik krisis kepercayaan publik dan mencerminkan rapuhnya tata kelola birokrasi.
Sebagai Ketua Gerakan Pemuda Nusantara (GPN) Lampung, saya memandang kondisi ini telah merusak sendi-sendi kepercayaan masyarakat terhadap transparansi dan kinerja aparatur negara. Upaya organisasi pemuda dalam melakukan pengawasan mandiri di berbagai satuan kerja merupakan bentuk perlawanan sehat terhadap budaya korupsi yang seolah telah dinormalisasi.
Namun untuk memahami akar persoalan, kita harus melihat lebih luas. Apa yang terjadi di Lampung hanyalah cerminan kecil dari kontradiksi kebijakan dan krisis akuntabilitas di tingkat pusat.
Efisiensi yang Sekadar Slogan
Pemerintah pusat kerap menggembar-gemborkan semangat efisiensi dan penghematan anggaran. Ironisnya, struktur kabinet justru semakin “gemuk” dengan banyaknya menteri dan pejabat setingkat menteri.
Bagaimana mungkin semangat berhemat dapat dijalankan secara konsisten jika di level tertinggi negara justru terjadi pemborosan? Kebijakan semacam ini ibarat memaksa rakyat mengencangkan ikat pinggang, sementara istana berpesta. Kondisi ini bukan hanya menciptakan preseden buruk, tetapi juga memperkuat kecurigaan publik bahwa uang rakyat begitu mudah dialihkan untuk kepentingan yang tidak produktif.
Wajah efisiensi anggaran pun terlihat timpang. Alokasi untuk sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan justru mengalami pemangkasan signifikan—kebijakan yang tidak hanya inkonstitusional, tetapi juga tidak berperikemanusiaan.
Di saat yang sama, dana negara justru dialihkan ke proyek-proyek “strategis” seperti Danantara, yang model bisnisnya rawan menimbulkan risiko besar bahkan berpotensi menyerupai skandal 1MDB. Prioritas pemerintah menjadi jelas: mengorbankan kepentingan rakyat banyak demi proyek mercusuar berisiko tinggi.
Sebagaimana saya sampaikan, “Efisiensi anggaran adalah upaya mengoptimalkan penggunaan sumber daya finansial untuk mencapai tujuan dengan biaya seminimal mungkin tanpa mengurangi kualitas hasil.” Sayangnya, idealisme ini masih jauh panggang dari api.
Tiga Akar Inefisiensi Kronis
Instruksi Presiden untuk melakukan penghematan anggaran memang merupakan keniscayaan, terutama mengingat beban utang dan kondisi ekonomi global yang menekan. Namun efektivitasnya sulit tercapai selama tiga sumber utama inefisiensi ini belum diberantas:
- Korupsi yang Sistemik.
Praktik korupsi ibarat tumor ganas yang menggerogoti tubuh anggaran negara. Selama uang rakyat masih bocor untuk kepentingan pribadi dan kelompok, efisiensi tidak akan pernah lebih dari sekadar jargon kosong. - Pengawasan yang Rapuh.
Mekanisme pengawasan internal masih rentan diintervensi kepentingan politik. Ironisnya, tidak jarang suatu daerah menyandang predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), tetapi tak lama kemudian pimpinannya justru terjerat kasus korupsi. Fakta ini menunjukkan adanya praktik manipulatif untuk menipu sistem. - Evaluasi yang Tidak Substantif.
Ukuran keberhasilan program masih terpaku pada kelengkapan laporan administratif, bukan pada dampak nyata bagi masyarakat. Sebuah program dianggap berhasil karena laporannya rapi, bukan karena menyelesaikan masalah di akar rumput.
Membangun Ulang Kepercayaan Publik
Pemerintah tidak bisa lagi meminta kepercayaan publik hanya dengan retorika efisiensi. Kepercayaan harus dibangun dengan tindakan nyata.
Pertama, informasi anggaran harus terbuka dan mudah diakses publik. Partisipasi masyarakat sipil, seperti inisiatif GPN Lampung dalam pengawasan anggaran, perlu diperluas secara nasional.
Kedua, kasus dugaan penyimpangan di Lampung harus dituntaskan secara terbuka. Di sisi lain, proyek-proyek berisiko tinggi di tingkat pusat harus diawasi ketat agar tidak menjadi ladang korupsi baru.
Ketiga, pemerintah harus berani menata ulang struktur birokrasi yang gemuk, menghentikan proyek mercusuar yang tidak prioritas, dan mengembalikan fokus anggaran pada amanat konstitusi: memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kritik dan pengawasan publik bukanlah ancaman, melainkan alarm penting bagi perbaikan. Solusi bukanlah efisiensi yang memiskinkan rakyat, tetapi efisiensi yang menutup kebocoran, memperkuat pengawasan, dan memastikan setiap rupiah uang rakyat benar-benar bekerja untuk rakyat.
Jika tidak, krisis kepercayaan ini bukan hanya akan melumpuhkan pembangunan, tetapi juga perlahan menggerus masa depan bangsa.