Lampung Barat, Potensi Nasional – Fakta penarikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kabupaten Lampung Barat kembali mencuat setelah Camat Bandar Negeri Suoh (BNS), Mandala Harto, membenarkan adanya pungutan tersebut. Pernyataan ini sekaligus membantah klaim Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Lampung Barat, Daman Nasir, yang sebelumnya menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak pernah menarik PBB dari masyarakat yang bermukim di lahan konservasi.
Pihak Balai Besar TNBBS di Tanggamus sebelumnya juga telah dua kali mengirimkan surat himbauan kepada Pemerintah Daerah Lampung Barat agar menghentikan penarikan PBB di kawasan konservasi. Surat tersebut bahkan telah ditanggapi oleh Sekretaris Daerah (Sekda) dengan janji penghentian, namun hingga kini pungutan tersebut masih berlanjut.
Terungkapnya fakta ini mendapat respons keras dari Aktivis Lingkungan Hidup Lembaga Konservasi 21, Ir. Edy Karizal. Menurutnya, kebijakan penarikan PBB di kawasan konservasi menunjukkan kurangnya kepedulian pemerintah daerah terhadap kelestarian hutan.
“Penarikan PBB di kawasan konservasi TNBBS merupakan bentuk pengrusakan taman nasional yang dilakukan secara ilegal oleh Pemerintah Daerah Lampung Barat. Ini bertentangan dengan status Lampung Barat sebagai Kabupaten Konservasi,” tegas Edy.
Lebih lanjut, Edy mengingatkan bahwa Indonesia telah memiliki target penurunan emisi karbon sesuai dengan Paris Agreement. Ia mempertanyakan konsistensi Lampung Barat dalam mengkampanyekan diri sebagai Kabupaten Konservasi jika praktik seperti ini masih terjadi.
Di tempat terpisah, Aktivis Masyarakat Independent GERMASI, Wahdi Syarif, juga mengkritik kebijakan ini. Ia menilai bahwa penarikan PBB di kawasan TNBBS berpotensi merugikan masyarakat dan bisa dianggap sebagai pungutan liar jika tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
“Jika benar pemerintah daerah telah menarik PBB di kawasan konservasi tetapi tetap membantahnya, maka ini bisa dikategorikan sebagai pembohongan publik. Jika pungutan tersebut dilakukan secara ilegal, maka harus dikembalikan kepada masyarakat yang dirugikan,” ujar Wahdi.
Kasus ini menambah sorotan terhadap kebijakan pemerintah daerah terkait pengelolaan kawasan konservasi dan dampaknya terhadap masyarakat. Aktivis dan masyarakat kini menunggu langkah konkret pemerintah dalam menyikapi temuan ini. Red