Kematian Harimau Sumatera “Bakas” Jadi Sorotan: GERMASI Nilai Gagalnya Sistem Konservasi di Indonesia

Bandar Lampung, Potensinasional.id – Seekor Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) bernama Bakas dengan ID 13 RL Male, dilaporkan mati tragis pada Jumat (7/11/2025). Kabar duka ini memicu gelombang kemarahan publik dan aktivis lingkungan, yang menilai kematian satwa langka tersebut sebagai bukti nyata gagalnya sistem konservasi di Indonesia.

Bakas sebelumnya dievakuasi dari kawasan Talang Kali Pasir, Pekon Sukabumi, Kecamatan Batu Brak, Kabupaten Lampung Barat. Saat penangkapan, harimau jantan itu sudah mengalami luka fisik dan kehilangan beberapa jari. Namun, nasibnya justru berakhir tragis setelah dipindahkan ke Lembaga Konservasi (LK) Lembah Hijau Lampung, atas keputusan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu bersama Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Lampung.

Informasi yang beredar menyebutkan, selama masa perawatan di LK Lembah Hijau, Bakas kerap menabrakkan diri ke dinding kandang hingga akhirnya mengalami kejang dan mati di tempat. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter hewan drh. Sugeng Dwi Hastono, penyebab kematian Bakas adalah pendarahan otak akibat benturan benda tumpul yang mengakibatkan kematian otak (brain death).

Namun, di balik laporan medis tersebut, berbagai kalangan menilai telah terjadi kelalaian serius dalam proses penanganan dan relokasi satwa dilindungi tersebut.


GERMASI: “Yang Dipenjara Harimau, Bukan Perambahnya”

Kecaman keras datang dari Founder Masyarakat Independen GERMASI, Ridwan Maulana, C.PL., CDRA, yang menuding keputusan memindahkan Bakas ke lembaga konservasi buatan sebagai langkah keliru dan mempercepat kematiannya.

“Dengan matinya Harimau Sumatera ini, siapa yang bertanggung jawab? Seharusnya Bakas tidak direlokasi ke Lembah Hijau, tapi dikembalikan ke habitat aslinya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS),” tegas Ridwan.

Ia menyoroti bahwa akar persoalan bukan pada perilaku harimau, melainkan kerusakan habitat akibat perambahan hutan dan alih fungsi kawasan konservasi menjadi perkebunan kopi.

“Lucu sekali, harimau turun ke kebun warga karena hutannya rusak, tapi justru harimaunya yang dipenjara, sementara para perambah liar dibiarkan. Kalau mau adil, yang direlokasi itu manusianya, bukan satwanya!” ujar Ridwan dengan nada geram.


Desakan Investigasi dan Reformasi Sistem Konservasi

GERMASI menilai kematian Bakas sebagai alarm keras atas gagalnya tata kelola konservasi satwa liar di Tanah Air. Ridwan menyatakan akan segera berkoordinasi dengan Ketua Umum Cakra Surya Manggala (CSM), Dr. Mujizat Tegar Sedayu, S.H., M.H., IFHGAS, untuk mendorong Presiden RI dan Menteri Kehutanan turun tangan langsung menindaklanjuti kasus ini.

“Kami akan membawa kasus ini ke tingkat nasional. Presiden dan Menteri Kehutanan harus menindak tegas pihak-pihak yang lalai, baik dari BKSDA maupun pihak lembaga konservasi. Kematian Bakas bukan insiden biasa — ini peringatan keras bahwa sistem konservasi kita sedang gagal,” tegasnya.

GERMASI dan CSM juga menyerukan audit menyeluruh terhadap seluruh lembaga konservasi satwa di Indonesia, khususnya di wilayah Lampung dan Bengkulu. Mereka mendesak agar setiap kebijakan relokasi satwa liar dievaluasi dan mengembalikan prioritas utama pada pelepasliaran ke habitat alami, bukan penempatan di kandang buatan.


Momentum Perbaikan Total Konservasi Satwa

Dalam pernyataannya, Ridwan menegaskan kematian Bakas harus menjadi momentum untuk memperbaiki sistem konservasi satwa di Indonesia secara total.

“Negara jangan hanya hadir lewat laporan teknis. Ini soal nyawa satwa dilindungi! Kalau setiap harimau agresif dianggap berbahaya lalu dikurung di kandang sempit, maka tunggulah — Harimau Sumatera akan punah bukan karena pemburu, tapi karena kebijakan yang salah arah,” pungkasnya.

Kasus kematian Harimau Sumatera Bakas kini menjadi sorotan tajam di kalangan aktivis, peneliti, dan pemerhati lingkungan. Publik menanti langkah tegas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta aparat penegak hukum agar tragedi serupa tak terulang kembali.

(Wahdi)