Muara Teweh, Potensinasional.id — Polemik sengketa lahan antara warga dan perusahaan tambang batubara PT Nusa Persada Resources (NPR) yang beroperasi di Desa Karendan dan Desa Muara Pari, Kecamatan Lahei, Kabupaten Barito Utara, kembali menjadi sorotan. Kasus ini mencuat setelah salah seorang warga, Prianto, ditahan dengan dakwaan membakar dan merusak kawasan hutan.
Perkara tersebut kini memasuki tahap pembacaan eksepsi di Pengadilan Negeri Muara Teweh pada Rabu, 1 Januari 2025. Kuasa hukum terdakwa, Buyamin Saiman, S.H., menyampaikan bahwa pihaknya telah mengajukan gugatan kepada empat pihak, yakni PT NPR, Kapolres Barito Utara, Dinas Kehutanan, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Menurut Buyamin, berdasarkan pengecekan di lapangan, PT NPR diduga belum mengantongi izin IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan). Selain itu, pihaknya menilai dakwaan terhadap kliennya tidak sejalan dengan aturan terkait perlindungan masyarakat adat. “Kami sudah menyampaikan gugatan karena dugaan pelanggaran ini. Dakwaan yang ditujukan kepada klien kami tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” jelas Buyamin.
Dalam kesempatan terpisah, media juga mewawancarai terdakwa Prianto bin Samsuri. Dari balik jeruji besi, ia menyatakan bahwa dirinya merasa dijolimi oleh oknum manajemen PT NPR berinisial AS, yang melaporkannya atas tuduhan pembakaran hutan.
“Saya dilaporkan oleh oknum PT NPR dan diproses hukum dengan tuduhan menduduki dan mengerjakan kawasan hutan secara tidak sah dengan cara membakar hutan. Saya menjalani proses hukum di Polres Barito Utara selama kurang lebih 125 hari,” ujar Prianto dengan tangan diborgol.
Prianto menambahkan bahwa proses hukum yang dijalani tidak dilakukan secara tangkap tangan dan mengaku tidak ada alat bukti yang sah. Barang bukti yang disita berupa satu unit gergaji mesin (chainsaw) merupakan milik saudaranya, yang dititipkan di rumahnya dan dalam kondisi rusak.
Ia juga membantah melakukan pembakaran hutan. Menurutnya, lokasi yang dimaksud merupakan lahan ladang berpindah tradisional masyarakat dengan luas sekitar 3 hektare per kepala keluarga. Lahan tersebut berada di wilayah Desa Karendan, sesuai Surat Pernyataan Hak Kelola Atas Tanah (SPHKAT) atas namanya yang terdaftar di pemerintah desa, dan bukan merupakan kawasan hutan melainkan semak belukar yang telah lama dikelola warga.
Dalam penjelasannya, Prianto menduga proses hukumnya sarat kepentingan. “Saya menduga ada banyak kepentingan investasi PT NPR dalam kasus ini. Namun saya percaya, siapa pun yang menzholimi pasti harus berhadapan dengan kuasa Tuhan,” pungkasnya. (Hendryanus)










