Tata Cara Pelaksanaan Keagamaan Spiritual Intan Kaharingan Sangkutambak Raja

Agama Kaharingan merupakan sistem kepercayaan asli masyarakat Dayak di Kalimantan. Sebelum resmi diakui sebagai aliran kepercayaan pada November 2017, Kaharingan sempat dikategorikan sebagai bagian dari Hindu karena adanya kesamaan unsur ritual, seperti penggunaan sesaji atau yadnya.

Secara etimologis, kata Kaharingan berasal dari kata Dayak “haring”, yang berarti hidup atau tumbuh. Karena itu Kaharingan dimaknai sebagai cara hidup yang menekankan hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, leluhur, dan alam semesta.

Tujuan utama ajaran ini adalah menjaga keseimbangan antara manusia, Tuhan yang disebut Ranying Hatalla Langit, roh leluhur, serta seluruh makhluk ciptaan. Melalui ritual ibadah, persembahan, doa, dan penghormatan terhadap leluhur serta alam, penganut Kaharingan meyakini dapat mencapai keselamatan hidup, keberkahan, hingga pembebasan jiwa atau moksha.

Dalam kepercayaan Kaharingan, tata cara pelaksanaan ibadah dikenal melalui sejumlah prosesi keagamaan yang sakral. Salah satu ritual besar adalah Upacara Tiwah, yaitu prosesi pemakaman ulang kaum leluhur yang dapat berlangsung hingga 30 hari. Dalam upacara ini dilakukan persembahan hewan seperti babi atau kerbau sebagai bentuk penghormatan terakhir.

 

Doa-doa dipanjatkan melalui kitab suci Panaturan serta Talatah Basarah, dan ibadah dilakukan di tempat suci bernama Balai Basarah atau Balai Kaharingan.

Salah satu elemen simbolis dalam tradisi tertentu Kaharingan adalah ketupat burung dara. Meski dokumentasi tertulisnya masih terbatas, berdasarkan makna simbolik dalam budaya Dayak dan Kaharingan, burung dara mengandung unsur kesucian, kebahagiaan, serta pesan spiritual dari leluhur.

Sementara itu, ketupat memiliki makna keseimbangan hidup, keberuntungan, dan ungkapan syukur kepada Tuhan. Kombinasi keduanya dipercaya sebagai bentuk sesaji ungkapan terima kasih atas anugerah Sang Pencipta (Sang Jatta), yang biasanya digunakan pada upacara syukuran dan pernikahan untuk memohon keberkahan.

Ritual berikutnya adalah Tapung Tawar, yaitu prosesi penyucian menggunakan air tawar yang telah diberi unsur doa. Praktik ini banyak ditemukan pada masyarakat Dayak dan Banjar sebagai hasil akulturasi tradisi Kaharingan, Hindu, dan Islam.

Secara harfiah, tapung berarti wadah, sedangkan tawar berarti air murni tanpa rasa. Dalam pelaksanaannya, air dicampur dengan bunga atau minyak, kemudian dipercikkan sebagai media spiritual untuk memohon keselamatan, kesehatan, serta perlindungan. Ritual ini umumnya dilakukan pada momen tertentu seperti kelahiran, pernikahan, maupun peresmian rumah baru.

Istilah Acak Bambu belum terdokumentasi secara detail dalam literatur resmi Kaharingan. Namun, bambu dalam tradisi Dayak memiliki makna spiritual, yaitu kekuatan, kehidupan, ketahanan, dan proses pembelajaran manusia.

“Acak Bambu” diyakini sebagai bagian dari ritual yang menggunakan bambu sebagai media penanda, alat upacara, atau simbol siklus kehidupan. Dalam konteksnya, bambu juga dapat memaknai sifat dualistik manusia—positif dan negatif—sebagai bagian dari proses penyelarasan diri.

Rangkaian tata cara pelaksanaan keagamaan ini tidak hanya menunjukkan kekayaan spiritual masyarakat Dayak, tetapi juga memperlihatkan kedalaman filosofi Kaharingan sebagai warisan budaya leluhur yang terus dijaga hingga kini.

(Henryanus Achiang)